Secara umum inerrancy berarti bebas dari kesalahan. Dalam lingkup Theologia, kata itu dipakai untuk menunjukkan keberadaan Alkitab, bahwa Alkitab itu bebas dari kesalahan. Alkitab bukan hanya diinspirasikan Allah saja. Tetapi ia juga bebas dari kesalahan dan tidak akan menyesatkan. E. J. Young menyatakan bahwa Alkitab memiliki suatu kualitas yang bebas dari kesalahan. Ia bebas dari kecenderungan untuk keliru dan tidak dapat bersalah. Henry C. Thiessen menunjukkan bahwa Alkitab tidak mempunyai kesalahan pada naskah aslinya. Sedangkan Ryrie membuktikan doktrin inerrancy Alkitab dengan sebuah silogisme. Ia menyatakan bahwa Allah adalah benar (Rom.3:4). Alkitab itu dinafaskan Allah (II Tim.3:16). Maka Alkitab adalah benar.
Di samping itu, inerrancy Alkitab menyatakan bahwa Alkitab mengajarkan kebenaran. Kebenaran dapat termasuk hasil penafsiran, kutipan, bentuk bahasa, dan perbedaan angka dari suatu peristiwa yang tidak menunjukkan kontrakdiksi. Pada Pertemuan Chicago di Bulan Oktober 1978, The International Council on Biblical Inerrancy menyatakan, “Alkitab tanpa salah dalam seluruh pengajaran, tidak mengurangi tindakan Allah dalam penciptaan, sejarah dunia, dan naskah asli.” Seperti diungkap oleh Thiessen, bahwa Alkitab itu tidak memiliki kesalahan pada naskah aslinya. Hal ini menunjukkan bahwa Inerrancy juga mengarah pada seluruh fakta yang terdapat dalam Alkitab. Alkitab menunjukkan seluruh kebenaran yang dapat berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu seperti sejarah, geografi, geologi dan ilmu pengetahuan yang lain.
2. Pandangan Terhadap Inerrancy Alkitab
Banyak sarjana-sarjana Alkitab yang menolak Inerrancy Alkitab. Mereka menilai bahwa Alkitab memiliki sisi yang tidak dapat dibenarkan atau menyatakan bahwa Alkitab kurang menunjukkan keakuratan. Seperti halnya S. Wismoady Wahono, yang menyatakan bahwa pandangan bahwa Alkitab adalah tepat dan tidak mengandung kesalahan, adalah anggapan yang sudah usang dan tidak relevan dengan perkembangan. Ia juga menyatakan bahwa mempelajari Alkitab harus dimulai dengan pertanyaan, “Apakah Alkitab itu catatan yang akurat?” Bahkan ia secara terang menyatakan, “Meskipun cara menulis dan mengutip yang demikian sangat dapat dipercaya, namun kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja tentu tak dapat dihindarkan. Di samping itu, naskah-naskah itupun sudah sering mengalami perubahan-perubahan yang dilakukan secara sengaja oleh para ahli kitab waktu itu. Tujuan perubahan itu adalah untuk memperbaiki teks yang menurut para ahli tersebut salah atau keliru.” Demikian juga dengan Harun Hadiwijono yang meragukan keabsahan Alkitab adalah firman Tuhan bahkan menunjukkan bahwa Alkitab memiliki kesalahan dengan menyatakan, “Bukan segala uraian yang diambil dari Alkitab adakah firman Tuhan. Uraian itu adalah firman Tuhan jika meneruskan kerygma atau berita yang benar dari Alkitab”. Pernyataan implisit Hadiwijono ini menjadi makin jelas ketika melihat pernyataannya dalam buku yang lain, “Di dalam memakai manusia sebagai alatNya tadi Roh Kudus bukanlah memakai manusia sebagai corong atau alat yang kosong yang kemudian diisi dengan firman Tuhan, melainkan manusia diberi kebebasan untuk bekerja sendiri, menentukan sendiri apa yang akan disaksikan, bagaimana akan disaksikan, maka hasil karya penyaksian manusia tadi juga menunjukkan sifat-sifat pekerjaan manusia dengan segala kelemahannya.”
Penolakan inerrancy Alkitab oleh sarjana-sarjana itu, biasanya, didasarkan pada beberapa anggapan, yaitu:
2.1. Kesalahan dapat mengajarkan kebenaran
Orang yang menolak inerrancy Alkitab beranggapan bahwa tidak terlalu penting bergantung pada akurasi Alkitab mengenai kronologi waktu, geografi, sejarah atau kosmologi. Penolakan inerrancy Alkitab didasarkan pada anggapan bahwa walaupun Alkitab itu salah, ia tetap dapat menyatakan kebenaran. Seperti dikatakan Wahono , “Banyak juga cerita dalam Alkitab yang sepintas kilas seperti tak mengandung nilai agama. Misalnya cerita tentang raja-raja yang dinobatkan, dibunuh, mati dan dikuburkan, cerita-cerita tentang tentara yang mempertahankan wilayah atau memperluasnya. Demikian pula cerita tentang pemberlakuan hukum, seperti yang termuat di dalam Kitab Keluaran dan Ulangan, sedikit sekali kena-mengenanya dengan soal rohani. Teguran-teguran para nabipun sedikit saja yang memberi bantuan kepada pembaca yang ingin memperoleh pedoman untuk ibadahnya. Dalam hal ini sebaiknya kita dengan jujur mengakui, bahwa memang banyak tembaga di antara emas.” Dengan demikian penolakan itu didasarkan pada lebih pentingnya makna dari pada keakuratan kalimat-kalimat itu sendiri. Namun, inerrancy Alkitab tak dapat ditolak dengan dasar itu. Semua yang tertulis dalam Alkitab memiliki jalinan yang erat antara hal-hal yang bersifat profan dan hal yang non profan. Jalinan yang erat itu memiliki makna theologia yang merupakan kebenaran atau berkaitan dengan kebenaran itu. Misalnya, sejarah Adam dan Hawa dalam Kejadian 1 dan 2 merupakan hal yang penting karena Paulus melukiskan suatu analogi antara Adam dan Kristus dalam Roma 5:12-21. Jika sejarah Adam tidak diakui maka analogi itu tidak dapat diterima. Kronologi silsilah Yesus dalam Matius 1 merupakan bagian yang penting dan bukan sekedar informasi. Silsilah ini memberi makna penting untuk menerangkan silsilah Yesus. Jika silsilah ini tidak akurat, apakah dapat berbicara mengenai kisah kehidupan Yesus? Oleh sebab itu, keakuratan data-data dalam Alkitab memiliki kedudukan penting yang berkaitan langsung dengan kebenaran. Ia tidak dapat diabaikan karena pengabaian terhadapnya akan mengganggu kebenaran itu sendiri. Jika Alkitab tidak dapat dipercaya data-data sejarah, kronologi, geografi atau yang lain, maka ia tidak dapat dipercayai beritanya.
2.2. Keraguan terhadap Sifat Allah
Penolakan terhadap inerrancy Alkitab juga didasarkan pada keraguan terhadap sifat Allah. Mereka menolak Alkitab sebagai karya Roh Kudus, dan hanya menerima sebagai kitab biasa yang ditulis manusia yang dapat berbuat salah. Bahkan Wahono menganggapnya sebagai perpustakaan yang dikumpulkan dengan pemilihan yang sembarangan (asal pilih). Anggapan bahwa Alkitab tidak diilhamkan Allah, memberi indikasi bahwa sifat Allah diragukan. Alkitab merupakan hasil dari ilham Allah (2 Tim.3:16), dan diawasi oleh Roh Kudus (2 Pet.1:21). Jika Alkitab dianggap memiliki kesalahan, berarti Allah dapat berbuat salah, dan Allah bersalah.
2.3. Perbedaan dalam Alkitab.
Penolakan inerrancy Alkitab selalu dibarengi dengan daftar perbedaan pada bagian-bagian Alkitab. Mereka menentukan bagian ini benar dan bagian yang lain salah, atau dengan menentukan bagian yang benar di antara dua bagian itu. Misalnya, kisah-kisah dalam Injil Sinoptik yang sama, dinilai salah satu pasti salah tulis atau salah satu benar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, “Kriteria apa yang dipakai untuk menentukan pemisahan bagian yang salah dan benar? Siapa yang membagi batasan antara yang salah dan benar?”
3. Penjelasan Doktrin Inerrancy Alkitab
Pada bagian sebelumnya telah diketahui bahwa Wahyu khusus dinyatakan dalam dua bentuk yakni melalui inkarnasi Kristus dan pewahyuan Alkitab. Dalam kedua bentuk wahyu khusus ini memiliki kesamaan, bahwa keduanya tidak memiliki cacat dan cela. Inkarnasi Yesus diwujudkan melalui manusia yakni orang tua dan Roh Kudus berada dibalik karya itu. Wahyu khusus melalui inkarnasi Kristus ini menghadirkan Tuhan Yesus yang tidak bercela dalam arti tidak berdosa (Ibr.4:15). Sedangkan Wahyu Khusus melalui Alkitab diwujudkan melalui seorang penulis dan Roh Kudus yang mengawasi. Wahyu ini menghasilkan Alkitab yang tidak bercela dalam arti tidak memiliki kesalahan.
Doktrin inerrancy Alkitab memiliki beberapa dalil, yaitu:
3.1. Inerrancy tidak berarti keseragaman
Injil Yohanes ditulis dalam bentuk yang sederhana dari seorang nelayan. Lukas telah menulis dengan perbendaharan kata yang kaya dari seorang yang berpendidikan. Rasul Paulus menuliskan suratnya untuk merefleksikan suatu logika. Perbedaan bentuk penulisan tidak berarti Alkitab memiliki kemungkinan itu melakukan kesalahan atau dalam Alkitab terdapat kesalahan. Seluruh perbedaan bentuk itu tidak bertentangan dengan inerrancy itu sendiri.
3.2. Inerrancy tidak berarti kesamaan penjelasan dalam peristiwa yang sama.
Ini terlihat secara nyata dalam Kitab-kitab Injil khususnya Injil Sinoptik. Hal penting yang harus diingat bahwa Yesus berbicara dalam bahasa Aramik dan penulis Alkitab menulis dalam bahasa Yunani. Hal ini menunjukkan bahwa para penulis itu menerjemahkan perkataan Yesus itu dalam bahasa Yunani. Seorang penulis mungkin menggunakan suatu istilah tertentu yang berbeda dengan penulis yang lain tetapi memiliki kesamaan arti. Seorang penulis mungkin memiliki titik tolak yang berbeda dengan penulis yang lain yang bukan menunjukkan perbedaan tetapi akurasi penulisan.
3.3. Inerrancy tidak menuntut keharafiahan.
Pada zaman purbakala, Alkitab tidak menunjukkan keharafiahan dari suatu laporan penulisan. Suatu catatan yng harafiah tidak dituntut pada setiap penulis Alkitab. Hal ini didasarkan pada beberapa hal, yakni: pertama, Penulis melakukan penerjemahan terhadap perkataan Yesus dari Bahasa Aram ke Bahasa Yunani; ke dua, Kutipan Teks Perjanjian Lama tidak mungkin di sajikan secara harafiah karena terlalu panjang; dan ke tiga, Gulungan Alkitab tidak didapatkan dengan lengkap sebab itu Perjanjian Lama dicatat dengan bebas.
3.4. Inerrancy tidak berarti tata bahasa harus benar
Peraturan tata bahasa Ingris tidak dapat diterapkan pada Alkitab. Sebagai contoh, Yohanes 10:9, Yesus menyatakan, “Akulah pintu”. Pada ayat 11, Ia menyatakan, “Akulah gembala yang baik”. Dalam tata bahasa Inggris, perkataan itu dianggap metafor yang tumpang-tindih. Tetapi dalam tata bahasa Yunani atau Ibrani, hal itu tidak menjadi persoalan. Dalam Yohanes 14:26, Yesus menunjuk pada Roh dalam kata Pneuma yang bertenses neuter dan menunjuk Roh sebagai “He” (Ekeinos yang bertenses maskulin). Tata bahasa semacam ini menimbulkan permasalahan jika dilihat dari “kacamata” tata bahasa Inggris. Tetapi dalam Bahasa Yunani, hal itu tidak masalah.
3.5. Inerrancy tidak dipengaruhi pemecahan masalah.
Alkitab tidak mungkin menunjukkan jalan ke luar untuk semua masalah. Dalam beberapa kasus, pemecahannya ditemukan dalam penggalian arkeologi, dan dalam kasus lain terkuak dalam penyelidikan bahasa. Pada kasus yang lain, masalah itu belum terpecahkan. hal itu dapat dipakai sebagai dasar untuk menunjukkan kontradiksi dalam Alkitab atau kesalahan pada Alkitab. Jika Alkitab diilhamkan Allah, maka seluruh Alkitab tidak memiliki kesalahan. John R. W. Stott berkata, “Apa yang akan kita lakukan dengan adanya masalah? Menerima asal Ilahi Alkitab bukan berarti berpura-pura tidak ada masalah. Haruskah kita membuang kepercayaan kita karena kita belum berhasil memecahkan semua masalah?” Dengan pertanyaan yang sama, “Apakah Alkitab dianggap bersalah hanya karena kita belum berhasil menjawab semua permasalahan dalam Alkitab? Tentu tidak! Ketidak bersalahan Alkitab tidak dipengaruhi oleh keterbatasan manusia dalam memahami Alkitab.
3.6. Inerrancy menuntut laporan yang tidak diajarkan dengan salah atau diajarkan secara bertentangan.
Semua pernyataan Alkitab ditulis dalam keserasian. Pernyataan yang mendetail itu mungkin berubah-ubah tetapi ia merefleksikan keberadaannya. Misalkan, Matius 8:5-13 yang mencatat bahwa perwira datang pada Yesus dan berkata, “Aku tidak layak”. Pada Lukas 7:1-10 yang sejajar dengan bagian itu, menunjukkan bahwa tua-tua datang dan berkata mengenai perwira, “Ia layak”. Hal itu terlihat bahwa tua-tua itu datang yang pertama dan berkata kepada Yesus. Kemudian perwira itu datang sendiri. Keduanya bukan merupakan bagian yang bertentangan tetapi menunjukkan keserasian bahkan kelengkapan.
3.7. Inerrancy tak dapat dipisahkan dengan infallibility
Infallibility berarti tidak menjatuhkan atau sering diterjemahkan tidak menyesatkan. Inerrancy tidak dapat dipisahkan dengan infallibility. ketika Alkitab dinyatakan tak bersalah, maka pada saat yang sama ia menunjukkan bahwa Alkitab tidak menjatuhkan atau menyesatkan. Sebaliknya, ketika Alkitab dinyatakan infallibility, maka pada saat yang sama ia harus diakui inerrancynya. W. C. G. Proctor menyatakan bahwa infallibility berkaitan dengan kewibawaan dan keaslian Alkitab. Alkitab itu berwibawa karena ia tidak bersalah dan tidak menyesatkan. Alkitab memang berasal dari Allah karena Allah tidak pernah bersalah dan tidak pernah menyesatkan. Oleh sebab itu, antara Innerancy dan Infallibility tidak dapat dipisahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar